Tahun lalu, aku tidak sengaja bertemu dengan seorang pria dalam sebuah game. awalnya, hubungan kami layaknya seorang kakak dan adik. kami sering berkomunikasi lewat telfon, hingga suatu saat dia menghilang tanpa kabar dikarenakan tugasnya yang sangat banyak. Bulan Mei kemarin, dia kembali dan mengabariku lagi, hingga pada satu waktu, kamu berdua putuskan untuk menjalin hubungan special dalam game tersebut. tanpa aku sadari, perasaanku ternyata mengharapkan hubungan kami tidak hanya sebatas game saja. terdengar egois memang, tapi aku menginginkannya lebih, lebih dari seseorang yang special dalam game itu. aku menginginkannya untuk menemaniku menjalani hari-hariku, membawa warna dalam hidupku, dan mengisi kekosongan hatiku, dan menyembuhkan lukaku yang dulu pernah dilukai oleh mantanku. aku memendam perasaanku, aku tak mengatakannya karena aku takut kalau perasaan ini, hanyalah perasaanku saja, namun tidak dengannya. aku takut perasaanku tak terbalaskan. dan aku pun memutuskan untuk memendamnya. keesokan harinya, dia mengabariku melalui sms. ada begitu banyak pertanyaan tentang kehidupanku yang dia tanyakan. sampai pada akhirnya dia mengatakan bahwa dia ingin mengenalku lebih dalam,karena dia ingin hubungan kami tidak hanya sebatas game saja, namun kami dapat menjalaninya di kehidupan nyata. "Tuhan, apa yang sedang terjadi saat ini? apa yang harus aku lakukan?" pertanyaan itu seketika muncul di dalam kepalaku. apa yang harus aku lakukan?, hingga akhirnya aku menjawab "iya, aku mau. aku mau hubungan kita berjalan di kehidupan nyata" dia pun bertanya, "apakah kamu serius? tapi kenapa? aku pikir, hanya aku saja yang menyayangimu, apakah kamu juga menyayangiku?". mendengar pertanyaan itu, spontan aku menjawab "iya, aku menyayangimu, sangat menyayangimu, hanya saja aku diam, aku tak berani mengatakannya karena aku takut kalau ternyata perasaanku bertepuk sebelah tangan". dan dia pun tertawa. akhirnya, hari itu kami resmi menjadi sepasang kekasih. hari-hari kami lalui dengan indah, kami tertawa bersama, kami saling meledek, kami bertingkah layaknya kami seorang anak kecil, bahkan terkadang kami bertingkah layaknya seorang suami dan istri yang memiliki seorang anak. namun tak jarang juga, hubungan kami, kami lalui dengan pertengkaran dan kecemburuan. tapi untunglah, semuanya itu bisa kami selesaikan dengan baik, hanya karna satu alasan "CINTA". Suatu ketika, kami terlibat percakapan yang serius, dimana dia menanyakan apakah aku menikah dengannya?. seketika pikiranku tidak keruan, hatiku bimbang, "apa yang harus aku jawab?" pertanyaan itu muncul dalam pikiranku. dan aku pun mulai menjelaskan kepadanya bahwa aku mau menikah dengannya, tapi yang menjadi persoalan adalah, kami memiliki perbedaan, perbedaan yang amat sulit untuk di satukan. ya, kami berbeda keyakinan, itulah alasan yang membuat aku ragu. aku pun berkata kepadanya "aku mau menikah sama kamu, ya, aku mau. hanya saja, kita memiliki perbedaan, perbedaan yang sulit untuk kita satukan. apakah mungkin, dalam sebuah rumah tangga, ada dua nahkoda yang memimpin? tidakkah itu menyulitkan kita nanti?". dia pun terdiam. kami pun terdiam. dalam keterdiaman kami berdua, akhirnya dia berkata "apa yang dilakukan dalam keluargamu, ketika ada salah satu anggota keluargamu yang menikah? bagaimana caranya?" aku pun menjawab "kita sama-sama pergi ke gereja, kemudian beribadah, di satukan di depan altar, dan kita resmi menjadi sepasang suami-istri. aku mau, aku mau menikah denganmu, hanya saja orang tua aku gak akan menyetujui apabila pasanganku berbeda keyakinan denganku. aku tidak memaksa, tapi kalau kamu mau untuk terus bersama denganku sampai kita menikah, bisakah kamu mengikutiku? mempercayai keyakinan yang ku percayai? namun, jikalau tidak, aku tidak memaksa." kembali, diam lah yang kini menguasai kami berdua. setelah kami terdiam cukup lama, akhirnya dia berkata "baiklah, untuk saat ini, biarkan lah kita menjalani hubungan ini apa adanya. nanti akan ku pertimbangkan permintaanmu nanti." seketika hatiku merasa bersalah. aku merasa seperti seseorang yang sangat egois. "oh, maafkan aku sayang" kataku dalam hati. kemudian, aku bertanya "jikalau suatu saat, kita tidak menemukan jalan keluar, apa yang akan kita lakukan?" lalu katanya, "hmm, kalau suatu saat kita tidak menemukan jalan keluar, aku akan menculikmu, dan kita kawin lari hahaha." seketika aku pun tertawa, namun tertawa ini tak sebebas seperti dulu. tertawa yang menyimpan begitu banyak keraguan, ketakutan, kebimbangan. walaupun dia berusaha untuk mencairkan suasana kami yang begitu kaku akibat pembicaraan serius kami tadi, aku tau bahwa dia juga menyimpan begitu banyak keraguan, apakah hubungan kami bisa berlanjut ke jenjang pernikahan. kini, satu bulan telah berlalu, hubungan kami menginjak dua bulan. pada bulan pertama menjelang bulan kedua hubungan kami, kami mengalami berbagai masalah. sikapku yang terkadang cemburu, dikarenakan mantan kekasihnya yang dulu, mencoba untuk mendekatinya lagi. ketakutanku muncul seketika, membuat dia merasa tidak nyaman, hingga akhirnya dia menenangkanku. ya, tiap kali, ketika aku merasa takut, dia selalu menenangkanku dengan caranya, dengan kelembutannya. entah mengapa, tiap kali aku merasa takut, hanya dia yang mampu menenangkanku. dia seperti sebuah drugs yang bisa menenangkan saraf. dia berkata "sayang, jangan khawatir. aku tau batasan-batasannya. aku tau sekarang aku udah gak sendirian lagi, aku sudah punya status, dan aku punya kamu. aku sayang sama kamu, percaya sama aku" kata-kata itulah yang sering dia ucapkan padaku. perlahan-lahan masalah kecemburuanku ini bisa ku atasi. masuk bulan ketiga hubungan kami, aku mulai kehilangan kabar darinya. dia tidak lagi menghubungiku ketika dia di tugaskan ke luar negeri. aku mencarinya. aku merasa seperti seorang anak kecil, yang kehilangan ibunya, dan berjalan dalam kegelapan. aku tidak tau kemana aku harus pergi untuk mendapatkan cahaya. aku mengirimkannya sms, aku menelfonnya, namun hasil yang ku dapatkan, nihil. aku tak mendapat balasan dari smsku, hpnya pun tak aktif ketika ku hubungi, pesanku di social medianya pun tak dijawab olehnya. "Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? kemana lagi aku harus mencarinya? aku takut kehilangan dia Tuhan, sungguh takut. aku sangat menyayanginya" kataku dalam hati. dalam penantianku, aku terus menghubunginya, namun tetap tidak membuahkan hasil, sampai pada akhirnya, dia menghubungiku, meminta maaf atas kepergiannya tanpa memberitahuku terlebih dahulu. aku ingin marah, aku ingin mendiaminya, tapi apa yang aku lakukan? aku memaafkannya, dan aku merangkulnya kembali kedalam pelukanku. namun, kejadian itu terus terulang, dia pergi tanpa kabar, kemudian pulang meminta maaf atas sikapnya, kemudian menghilang lagi, dan kembali. setiap kali dia pergi tanpa kabar, aku marah, aku emosi, aku kecewa, dia tidak bisa menepati janjinya. tapi, ketika dia datang, amarahku meredam, dan aku dengan mudahnya memaafkannya. terkadang aku bertanya pada diriku sendiri "apa yang terjadi padamu? mengapa kau begitu gampang memaafkannya? apakah ini yang dinamakan kekuatan cinta? beribu-ribu kali kau disakiti, begitu banyak alasan untukmu menyerah, namun kau selalu mencari satu alasan untuk memaafkan dan bertahan. apakah ini yang namanya menyayangi seseorang dengan tulus? apakah ini cinta?" entahlah, aku tak mendapatkan jawabannya. memasuki bulan keempat hubungan kami, semakin berkurang pula komunikasi kami. dia kembali dengan aktifitasnya, yang menghilang tanpa kabar, dan aku kembali dengan aktifitasku yang selalu mencarinya. hingga akhirnya dia kembali, dan mengatakan bahwa hubungan kami harus berakhir. seketika hatiku hancur, remuk, pikiranku tak keruan. aku sakit, sedih. kemudian dia menelfonku "beii, aku sudah menceritakan hubungan kita sama mama aku, dan mama aku tidak mau kalau aku mempercayai keyakinanmu. mama aku juga ingin pasangan aku tuh seiman sama aku. aku sudah bertanya sama mama aku, apakah bisa kalau aku menikah tapi kita memegang keyakinan kita masing-masing, dan mama aku bilang, itu mungkin saja terjadi, tapi bagaimana dengan anak-anak kita nanti, mama aku ingin anak-anak aku seiman sama aku", aku pun menjawab " tak bisakah, ketika mereka besar, mereka menentukan kepada siapa mereka ingin ikuti? atau, kalau memang anak-anak kita harus mengikutimu, baiklah, aku tak apa", lalu katanya, "itu tidak mungkin beii, aku tidak mau menimbulkan kesan egois ke kamu, aku gak mau sayang". kami pun terdiam. dalam hatiku berkata, aku masih ingin bersama-sama dengan dia, aku ingin dia di hidup aku, aku ingin dia mewarnai hari-hariku. kemudian dia berkata "aku sayang sama kamu, aku mau kamu yang mendampingi aku nanti, karena aku yakin, kamu mampu untuk itu semua, sikap kamu yang totally care, itu yang membuat aku yakin kalau kamu mampu. aku berat ngelepasin kamu beii, aku sudah mikirin ini selama sebulan, dan aku berat ngelakuin itu, aku hanya tidak mau kamu semakin terpuruk, berharap terlalu jauh, aku gak mau kamu sakit", kataku, "kalau kamu tidak ingin aku terpuruk dan berharap terlalu jauh, mengapa disaat aku ragu, kamu matia-matian ngeyakinin aku? kenapa tidak dari awal kamu mutusin aku disaat aku ragu?", kemudian dia menjawab "aku pikir, satu perbedaan itu, bukanlah hal yang sulit, dan aku pikir kita bisa menemukan jalan keluarnya, tetapi aku salah. aku juga berat beii, aku sulit, aku sayang sama kamu". apa yang bisa aku lakuin sekarang? hatiku berkecamuk, aku tak ingin pisah darinya, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. dan akhirnya, kami memutuskan hubungan kami. 4 bulan telah kami lewati bersama, sedih, senang, cemburu, marah, bahagia, tertawa, sudah kami lewati. dan kini, kami harus berjalan sendiri, melewatinya sendiri. hingga suatu waktu, dia menuliskan kalimat ini "mungkin ini sudah waktunya bagiku untuk melepaskan sang merpati, agar dia bisa terbang bebas di angkasa, dan berharap menemukan kebahagiaan dikehidupannya yang baru". taukah kamu? kata-kata itu membuatku makin hancur, makin tak berdaya. kini, aku hanya ditemanin oleh kenangan-kenangan kita. tak ada lagi kamu, tak ada lagi kita. benar apa yang dikatakan oleh yasmin "dulu, karena takdir, aku dan kamu, menjadi kita. tetapi sekarang, karena takdir pula, kita sudah tidak ada lagi". jujur, sampai sekarang, aku, masih menunggumu, aku masih menggenggam cinta kita, dan aku, sang merpati itu, akan kembali kepadamu suatu saat nanti, jika takdir, mengijinkanku untuk kembali. Aku, Mencintaimu, Everlasting.
~Sang Merpati~